Erha dengan kampunya. Nyangegeng
Nyanggeng, adalah nama kampung yang terletak di daerah bandung bagian barat, desa tanjung jaya, kec cihamplas. di pedalaman itulah aku lahir, dengan lebel suci dari tuhannya, tapi.. beranjak dewasa entah lebel itu masih melekat pada diriku atau tidak?
Kabut gelap menyelimuti rumahku, perlahan masuk menusuk tulangku yang duduk termangu di depan rumah tua. Walau jeket berwarna hitam juga tebal menempel di badanku. Rasa dingin itu sangat asing di tubuhku, lima tahun lebih aku menjelajahi kota gersang, dengan kehidupan keras di sekitarku. Banten. Kota itu yang kini membuatku asing dengan tanah kelahiranku sendiri. Tapi kini aku kembali, hidup di tengah kebersahajaan tanpa kesah, aku telah duduk di kursi kayu depan rumah, menyaksikan orang-orang beraktifitas.
Kampung nyangegeng mulai menunjukan nafasnya kembali. Setelah beberapa bulan hujan tak kunjung menuruni tanah ini, namun semalam hujan mengguyur hingga subuh, jalanan berdebu terasa beku, sehabis hujan. Suara langkah masih terdengar dari kaki-kaki tua menuju pesawahan, cangkul mulai di pikul di atas ketiak kakek tua itu lagi, rantang makanan kini mengeluarkan asap beraroma bawang, yang sudah ibu tua itu kemas semenjak subuh masih di hujani. Beberapa orang telah memulai cangkulannya di sawah depan rumahku. di balas dengan suara cangkul menusuk tanah di belakang rumahku, ya! memang rumahku di kelilingi pesawahan, dan kini sawah-sawah itu sedang berdetak.
Aku mengingat masa kecilku dan orang tuaku. Suasana yang sahaja masih melekat di kampung kelahiranku, tapi justru kebersahajaan itu yang membuat aku harus menggulung senyum. Seperti matahari yang kini dihalangi kabut, batinku mulai gelisah. Kampungku ini sangat jauh dari kota, tak ada jalanan besar yg membahayakan anak-anak bermain,

Kini kerikil resah terus melenting di batinku. Kecemasan yang semakin kuat membetot kesadaranku, dan berhenti pada satu titik. Untuk apa aku kembali?
bukan aku mnyesali kepulanganku
namun hati tak hendak riang dengan keadaan ini
beban semakin membumbung di pundaku
karena hanya aku yang tak belajar membawa cangkul
kepergian ku hanyalah tuntutan semata, atau harapan desa kecilku mendidik penghuninya
tapi buku tak membawaku merubah cangkul di atas pundak tetangga kakekku.
resah, lemah aku.