setelah selesai sekolah, gue langsung pergi ke sebuah sawah yang sangat luas di kampung gue, nama sawah itu sangat terkenal dan di gemari keberadaannya oleh semua orang di kampung gue, namanya Pasir Rontok. Itulah sebutan paling istimewa yang nenek moyang kita berikan terhadap sawah tersebut.
Indra, Dodi. Roni. Depi, itulah nama sahabat-sahabat gue yang tentunya membuntuti kelakuan gue sore ini, perjalananpun semakin mengasikan ketika kita semua bercanda dan berlarian meyusuri pesawahan yang di kelilingi sungai, posisinya kampung gue itu di kelilingi sungai tidak begitu jauh dari tepi sungai kini gue dan yang lain berlarian di salah satu sawah milik orang lain, dan baru di tanami jagung, intinya kita nakal dengan menginjak-nginjak tanaman yang baru di tanam tersebut, kontan tidak terlalu lama membiarkan kami tertawa, tiba-tiba teriakan yang sangat dahsyat dari pemilik sawah terdengar sangat jelas, gue melihat ke samping tetapi tidak ada yang berhasil gue lihat, setelah mencoba membanting pandangan ke belakang, dengan terkejut sekali ternyata bapak berkumis sangat hitam itu berada tepat di belakang gue, lengkap dengan acungan tangan memegang bambu untuk menghajar anak-anak nakal seperti gue dan teman-teman gue.
"Woy, ayo lari." intruksi gue terhadap temen-temen gue yang masih tertawa ria. sejenak mereka berhenti mendengarkan teriakan gue tadi tetapi setelah sadar mereka langsung menggunakan jurus kaki seribu yang biasa gue dan mereka lakukan jika situasi seperti ini terjadi.
yah memang ini adalah kegiatan utama kami untuk mencari kesenangan, jadi bukan kali pertamanya gue membuat para orang tua yang memiliki sawah marah, melainkkan sidah menjadi rutinitas kami sebagai anak nakal mengisi kekosongan waktu di rumah.
indra terlihat paling depan dengan badannya yang lumayan paling tinggi jadi ia mampu melangkah lebih jauh, gue pastinya paling terlantar. Posisi gue sangat lah kurang megenakan walau pun gue sudah berlari sekencang mungkin menurut persi langkah gue, namun bambu yang siap mengayun ke arah gue itu sangatlah dekat dengan kepala gue, hingga sedikitpun gue memperlambat pelarian ini, maka habislah sudah kutu-kutu yang selama ini gue rawat di kepala dan akan mati di pukul bambu yang sudah tidak ragu lagu mengarah ke kepala gue. jalanan yang di lewati semakin terjal karena kita sudah mulai masuk ke pesawahan yang belum di tanami apa-apa jadi bekas cangkulan masih belum rata bahkan sesekali badan gue goyah, karena kaki gue sedikit menyenggol tanah yang membalik karena di cangkul itu.
rupanya pak tua itu belum terlihat kelelahan karena suara kakinya masih sangat jelas berada tepat di belakang gue, gue mencoba membelokan badan ke kanan dan ke kiri gunanya agar sedikitnya pak itu terkecoh dengan gerakan gue, semakin gesit gue membelok ternyata semakin lng guincah pak tua itu menyabitkan bambunya ke arah gue, keringat semakin terasa turun dan keluar dari tubuh gue, rambut gue terhempas angin, angin yang sangat kencang mungkin ini pertanda kemerdekaan, tetapi angin itu semakin kencang bukan hanya rambut melainkan baju gue pun terasa seperti tertiup angin yang kencang, lalau setelah gue sadar ternyata bukan karena lagkah lari gue yang begitu cpat. Melainkan kini gue terperosok masuk ke jurang yang sangat dalam,
gue teriak sekeras mungkin karena rasa takut yang menjalar di diri gue.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar