Senin, 23 Juli 2012

KOMPOR IMPIAN


Kompor impian
E.R.H.A
Saat itu keluarga Tara sangatlah sulit dalam segi perekonomian, mengingat ayahTara sang mantan preman yang kini sakit parah sudah hampir dua tahun, sudah tidak busa lagi membiayai keperluan rumah tangga keluarganya, di samping itu biaya pengobaytan yang terbilang mahal dan tak mungkin lagi bisa di bayar tinggal menyisahan hutang yang lumaian besar, smangat ibu Taralah yang membuat semuanya masih bisa bertahan di posisi itu, Bi Niah kini selain mengajar mengaji di kampungnya ia sedikit belajar menjualkan pakaian milik tetangganya yang sedang berbisnis, alhasil lumayan untuk hanya makan dengan tempe atau hanya garam bisa rutin sehari sekali keluarga itu makan, Tara dan Tikri kini biasa mencari kayu bakan ke kebun orang untuk memasak nasi, walau kadang untuk mencari kayubakar tersebut mereka berdua harus berrela-rela berangkat pagi pulang sore guna mendapatkan kayu bakar tersebut.
          Ketika siang datang tara dan tikri selalu beristirahat di bawah pohon beringin yang sangat rindang, besar bahkan menjadi rumah kedua selain gubuknya di kampung nyangegeng sana. Air yang mengalir di sisi pohon sangat jernih mereka berdua selalu tergoda untuk membuk pakaiannya dan melepas semua lelah dengan madi di aliran air tersebut, ketika adzan duhur mengumandang pelan terbawa angin mengabarkan tanda waktu solat tiba mereka lagsung berjamaah di bawah pohon beringin itu beralaskan kain sarung  kusam yang bersih sebagai sajadahnya, sebelum solat mereka selalu berdebat dan memperbincangkan masalah yang serupa, yah` tentang malasnya Tkri untuk sembahyang.
Tara, “Dik kamu itu sedah besar sudah sepantasnya kamu rajin sembahyang!” ujar Tara sebagai kakak.
Tikri, “Malas ah, lagian aku cape kak!” kepalanya merunduk menghindari tatapan Tara.
Tara, “Ya. Sudah aku solat sendiri saja,” rasa kesal merasuki uli hati Tara
          Hingga perdebatan itu berakhir, seraya tara menggelar kain sebagai sajadah di atas tanah yang teduh karna pohon itu, beberapa kali Tara menrik nafas panjang, matanya terfokus pada kain sarung yang tergelar tepat di bawah kakinya,  sedikit ragu untuk memulai solatnya. Lalu tara membalik kepala ke arah Tikri yang masih duduk lelah di belakangnya. Tanpa sedikitpun lirikan dari Tikri tara mengucapkan sesuatu dngan nada pelan tapi lugas.
Tara, “Kalau kamu tidak mau solat, jangan pernah nunggu aku untuk plang, silahkan dulian karena aku tidak mau terbawa kesengsaraan di akhirat!”
          Serentak Tikri  merasa terkejut mendengar ucapan Tara yang begitu tidak memerdulikan dirinya, ketika dikri mengangkat kepalnya, ternyata tara sudah tidak lagi melihatnya, Tara telah khusuk menjalankan solatnya, rokaat pertama terlewati, angin berhembus ramah mendinginkan pikiran tara yang sedang berkomunikasi dengan penciptanya, Tikri masih dalam keraguannya antara malas dan Takut, Tikri kini beranjak dari duduknya entah kemana ia pergi, mungkin sakit hati karena sebelum solat tadi Tara mengusirnya dan enggan  bersamanya. Tetapi setelah Tara selesai solat dan mengucapkan salam Ke kanan dan ke kiri, mata tara sedikit berbinar, tepat di sebelah kiri tara Tikri telah menjadi ma`mumnya dan melanjutkan solatnya yang tertinggal.
          Kini pendapatan mereka sangat lumaian banyak, pastinya berita gembira ini ingin segera di perlihatkan kepada ibunya yang pasti sedang menanti-nanti kayu bakar di rumah, sambil membenahi tumpukan kayu bakar tera melirik ke arah Tikri memberi isyarat, kalau pencarian untuk hari ini sudah dirasa cukup, dan bergegas pulang, hati Tara girang melihat muka polos Tikri memang manis setelah di basuh dengan air wudhu, ajakan yang sangat manispin du lontarkan tara dengan kasih sayang nya, bukan hanya karena Tikri melaksanakan perintahnya untuk solat, melainkan Tara sangat sayang terhadap adik-adiknya, Tikri agak sedikit kesusahan membawa tumpukan kayu bakar tersebut, beberapa kali gulungan kayu itu terjatuh ketika Tikri hendak mengangkatnya dan menyimpannya di pundak tak berdagingnya, mata Tara kini mengkerut masih dengan penantian nya  terhadap adik tercintanya.
Tara, “Sinih aku bantu Tik!” seraya menurunkan buntelan kayu bakar yang telah di pikulnya.
          Masih dengan nada sinis, tiki si anak berhati cukup keras menolak ajakan kakaknya, ia memang cukup terkenal memiliki gengsi yang cukup tinggi, apa kagi menyangkut ke jantanan nya.
Tiki, “Tidak usah lah, aku juga mampu.”
          Hanya senyuman manis dan sedikit rasa bangga, terpancar dari wajah Tara menyikapi tingkah sok angkuh adiknya itu, Tara faham betul karakter adiknya, ia melanjutkan pikulannya dan berjalan menuju pulang, ajaibnya, Tiki kini bisa melewati langkah Tara dengan beban kayunya itu, beberapa kali Tiki mencoba melewati Tara, walau sangat jelas langkahnya yang cukup gontai itu memaksa memperkokoh kakinya,  hembusan kecil angin mengiringi pembuktian Tiki yang ingin sedikit di hargai ke dewasaannya oleh kakaknya itu, suara kaki mereka yang beradu menjadi irama yang merdu pemicu Tiki untuk selalu menjadi pemikul di garis terdepan, sehingga ia bisa menunjukan kepada kakak nya bahwa ia mampu membawa beban itu. Kini  Tara berada di belakang Tiki, bagi anak yang masih menggebu jiwanya seperti Tiki iitu adalah harga dirinya, Tiki menganggap ini adalah sebuah lomba. Dengan sircuit jalanan tanah untuk para pemikul kayu, walau keringat  semakin lama semakin banyak di sekujur tubuhnya, pantang bagi Tiki untuk beristirahat.
          Melihat adiknya yang begitu antusias membuktikan kemampuannya, Tara tidak begitu saja meladeni ajakan balapnya, padahal dengan langkah tenang Tara ia masih bisa menyusul atau minggalkan adiknya, namun Tara mencari inisiatip untuk memberikan hadiah beristirahat kepada adiknnya itu, benak Tara berputar memikirkan bagaimana caranya membuat Tiki berhenti sejenak untuk beristirahat karena Tara yakin, bahwa adiknya itu pasti sangat ke lelahan di balik gengsinya itu, namun bukan cara yang baik Ketikka Tara harus tiba-tiba menyuruh adiknya itu berhenti, karena respon Tiki tidak mungkin baik dan Tiki pasti akan menganggap kakaknya meremehkan kekuatannya, namun tara ingin sekali agar adiknya itu berhenti sejenak.
Tara, “Tik, saya cape tunggulah sejenak, kita beristirahat.” Inisiatif tara yang hebat tanpa, harus ketahuan bahwa sebetulnyaia memberikan kesempatan pada adiknya untuk istirahat, walau Tara masih sanggup melanjutkan perjalanan itu, Tikri tanpa basa-basi menyambut ajakan yang I tunggu –tunggu, keringak dengan seribu butir di setia tetes yang keluar dari dahi Tiki menunjukan bahwa sebenar nya ia sangat kelelahan, Tiki langsug menjatuhkan kayu yang di bawanya tanpa sedikit rasa takut kalau ikatannya itu akan lepas dan memisah gulungan kayu tersebut. Tara berhasil menipu adik nya tanpa ketahuan ia memberi kesempatan adiknya menarik nafas panjang. Perkampungan sudah sediit terlihat, hembusan nafas Tiki yang ngos-ngosan dan matanya menatap jauh ke perkampungan sana, wajahnya merah sekali, rasa cape kini memuncak, dan punggunya sedikit di sandarkan ke tanah, perlahan ia terkapar di bawah terik matahari, Tara menyodorkan air dalam botol yang di bawanya, air jernih isi ulang dari tempat mereka mandi, mereka biasa meminum air itu tanpa menunggu di masak dulu.
          Tika dan Tigi si adik bungsu, menyambut kedatangan mereka berdua dengan gmbira.
Tigi, “Asik. Kakak pulang,” melonvat bahagia melihat kakak-kakaknya membawa gulungan kayu yang sangat banyak.
Tika, “Sini kak turunin, aku bantu,”
 keindahan,  semua naknya berkumpul memindahkan kayu-kayu hasil bawaan anak pertama dan ketiganya, mereka terlihat sangat kompak walau dengan perbedaan karakter yang di miliki mereka, bi Niah sangat senang dengan pemandangan nya itu.
Tika, “Tika sini nak, bawakan air untuk kakak dan adikmu itu!”
          Dengan sigap Tika langsung membawa seteko air ke pelataran rumah sederhana mereka, selesai sudah kini kayu yang mereka bawa sudah berada di tempatnya. Dekat Hawu yang terdiri dari dua bata yang di tumpuk. Perasaan haru bi Niah memerhatikan kedua anak laki-lakinya itu membuat bi niah Tidak sabar ingin memberi tau, bahwa ada kabar gembira, untuk mereka berdua. Sepulang bi Niah dari pengajian tadi, ada sels penjual kompor yang di kredit, harganya 70,000 dan di cicil perbulan 10,000.  Dengan hati yang sangat senang bi niah menceritakan pada kedua anaknya itu.
Bi Niah, “Nak, mulai besok kalian tidak usah mencari kayu lagi, ibu akan kredik kompor!”
Tara, “apa benar bu?”
          Bi Niah mengangguk kontan membuat cicilan keringat Tiki hilang dalam girangnya, memang ada beberapa tetangganya juga yang sama mengambil kompor kreditan itu.
Tiki, “kapan kompor itu akan datang Bu?” tanya Tiki yang tidak sabar ingin segera memeluk kompor kemerdekaannya.
          Mungkin sore ini Tik,”
          Jawab bi Niah yang duduk bersila di kelilingi ke empat anaknya.
Tara,”Bapak di mana bu?”
Tika,”bapak tidur kak! Selepas muntah-munta tadi.”
Tara,”Kenapa Tik,” terkejut Tara mendengar semua itu dan bergegas msuk ke dalam rumah berniat melihat kondisi ayahnya.
Bi Niah,”Jangan ganggu ayahmu, baru sebentar ia tidur nak!” timpal ibunya.
          Tarapun mengurungkan niat nya untuk msuk kedalam rumah, kini mereka berkumpul kembai di teras rumahnya menanti kedatangan orang yang akan membawa kompor barunya, Tika yang semula masih tidurn di paha ibunya kini beranjak bangun, memusatkan matanya kepada dua laki-laki yang membawa kompor kesalah satu rumah tetangganya, lalu kereka semua memusatkan matnya dengan harapan menunggu giliran kedatangan tamu itu.
Tika, “mah mungkin itu!” tunjuk Tika kepada dua pemuda yang mebawa kompor di halaman rumah tetangganya,
          Mereka semua memerhatikan percakapan antara kedua pemuda itu dan tetangganya yang baru saja keluar dari rumahnya, terlihat kompor itu di serahkan kepada pemilik rumah tersebut, dan setelah berjabatan tangan kedua pemuda tersebut berlalu. Mereka berlima sedikit keheranan, dengan pulangnya tukang kredit kompor itu.
Tika, “Mengapa tidak kesini bu?” dengan cepat tika menanyakan prihal kompor itu.
Bi Niah, “mungkin sedang mengambil kompornya lagi!”
Tiki dan tigi ankat bicara.
“Apa benar ibu telah memesannya?” sedikit keraguan terpancar dari wajah mereka.
Bi Niah, ”Ia nak, tadi ibu ikut survey di musola katanya tuggu saja di rumah.”
          Mendengan penuturan inbunya itu mereka berempat kembali tenang, dan melanjutkan penantian indahnya, hening kini menyelimuti penantian mereka. Hingga terdengan suara pintu di buka dari rumah tetangganya, seorang ibu-ibu setengah baya keluar dari pintu tersebut, jaraknya mungkin lima meter dari halaman rumah mereka,  dan kini menuju ke arah mereka, lalu Tika bangun dari tidurannya dan menyambut kedatangan orang yang telah mendapat kompor tersebut.
Ibu tua, “asallamualaikum.” Sapanya indah
          Dan semua anggota keluarga bi Niah bangun menyambut kedatangan tetangganya itu dengan senyuman, setelah mempersilahkan masuk ke halaman yang sebetulnya tidak di pagar sama sekali itu mereka langsung mendapat kabar kepastian akan kompornya itu.
Ibu tua, “Bi kompor tidak jadi kirim ke sini.”
          Ibu tua itu menjelaskan mengapa kompor impian bi niah tidak kunjung datang, katanya sambil bercerita bahwa biniah tidak lulus survei, karena kompor di kirim atau tidak itu berdasarkan pekerjaan suaminya, kini ayah Tara hanyalah manusia yang sakit-sakitan , dan di ragukan untuk bisa menyicil kompor tersebut, airmata penantian menghinggapi Tika si anak perempuan manis, tetapi bi Niah masih kelihatan tegar dengan semua itu, ia hanya pamit dari anak anaknya yang manis itu untuk melihat ayahnya di dalam, Tara mengerti ada penyesalan yang sangat mendalam dari diri ibunya itu, dan baru kali ini Tara melihat langkah lemah ibunya itu, dari matan ibunya itu tidak bisa di tutupi keluarnya kesedihan dan kekecewaan yang enggan di ketahui anak-anaknya.
 Sewaktu ibunya bilang ingin masuk kedalam rumah, melihat ayahnya. Ada butiran airnata yang menyebabkan lentik mata bi niah berkaca kaca, sulit di bayangklan memang. orang pasti tidak akan begitu mempercayai keluarga mereka bahkan hanya untuk menyicil satu buah kompor seharga sepuluh rubupun perbulan . tidak mampu membuat orang lain percaya akan cicilan yang bisa di tempuh,.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar