Kompor
impian
E.R.H.A
Saat itu keluarga Tara sangatlah sulit dalam
segi perekonomian, mengingat ayahTara sang mantan preman yang kini sakit parah
sudah hampir dua tahun, sudah tidak busa lagi membiayai keperluan rumah tangga
keluarganya, di samping itu biaya pengobaytan yang terbilang mahal dan tak
mungkin lagi bisa di bayar tinggal menyisahan hutang yang lumaian besar,
smangat ibu Taralah yang membuat semuanya masih bisa bertahan di posisi itu, Bi
Niah kini selain mengajar mengaji di kampungnya ia sedikit belajar menjualkan pakaian
milik tetangganya yang sedang berbisnis, alhasil lumayan untuk hanya makan
dengan tempe atau hanya garam bisa rutin sehari sekali keluarga itu makan, Tara
dan Tikri kini biasa mencari kayu bakan ke kebun orang untuk memasak nasi,
walau kadang untuk mencari kayubakar tersebut mereka berdua harus berrela-rela
berangkat pagi pulang sore guna mendapatkan kayu bakar tersebut.
Ketika siang
datang tara dan tikri selalu beristirahat di bawah pohon beringin yang sangat
rindang, besar bahkan menjadi rumah kedua selain gubuknya di kampung nyangegeng
sana. Air yang mengalir di sisi pohon sangat jernih mereka berdua selalu
tergoda untuk membuk pakaiannya dan melepas semua lelah dengan madi di aliran
air tersebut, ketika adzan duhur mengumandang pelan terbawa angin mengabarkan
tanda waktu solat tiba mereka lagsung berjamaah di bawah pohon beringin itu
beralaskan kain sarung kusam yang bersih
sebagai sajadahnya, sebelum solat mereka selalu berdebat dan memperbincangkan
masalah yang serupa, yah` tentang malasnya Tkri untuk sembahyang.
Tara, “Dik kamu itu sedah besar sudah sepantasnya kamu rajin
sembahyang!” ujar Tara sebagai kakak.
Tikri, “Malas ah, lagian aku cape kak!” kepalanya merunduk
menghindari tatapan Tara.
Tara, “Ya. Sudah aku solat sendiri saja,” rasa kesal merasuki
uli hati Tara
Hingga
perdebatan itu berakhir, seraya tara menggelar kain sebagai sajadah di atas
tanah yang teduh karna pohon itu, beberapa kali Tara menrik nafas panjang,
matanya terfokus pada kain sarung yang tergelar tepat di bawah kakinya, sedikit ragu untuk memulai solatnya. Lalu
tara membalik kepala ke arah Tikri yang masih duduk lelah di belakangnya. Tanpa
sedikitpun lirikan dari Tikri tara mengucapkan sesuatu dngan nada pelan tapi
lugas.
Tara, “Kalau kamu tidak mau solat, jangan pernah nunggu aku
untuk plang, silahkan dulian karena aku tidak mau terbawa kesengsaraan di
akhirat!”
Serentak
Tikri merasa terkejut mendengar ucapan
Tara yang begitu tidak memerdulikan dirinya, ketika dikri mengangkat kepalnya,
ternyata tara sudah tidak lagi melihatnya, Tara telah khusuk menjalankan
solatnya, rokaat pertama terlewati, angin berhembus ramah mendinginkan pikiran
tara yang sedang berkomunikasi dengan penciptanya, Tikri masih dalam
keraguannya antara malas dan Takut, Tikri kini beranjak dari duduknya entah
kemana ia pergi, mungkin sakit hati karena sebelum solat tadi Tara mengusirnya
dan enggan bersamanya. Tetapi setelah
Tara selesai solat dan mengucapkan salam Ke kanan dan ke kiri, mata tara
sedikit berbinar, tepat di sebelah kiri tara Tikri telah menjadi ma`mumnya dan
melanjutkan solatnya yang tertinggal.
Kini pendapatan
mereka sangat lumaian banyak, pastinya berita gembira ini ingin segera di
perlihatkan kepada ibunya yang pasti sedang menanti-nanti kayu bakar di rumah,
sambil membenahi tumpukan kayu bakar tera melirik ke arah Tikri memberi
isyarat, kalau pencarian untuk hari ini sudah dirasa cukup, dan bergegas
pulang, hati Tara girang melihat muka polos Tikri memang manis setelah di basuh
dengan air wudhu, ajakan yang sangat manispin du lontarkan tara dengan kasih
sayang nya, bukan hanya karena Tikri melaksanakan perintahnya untuk solat,
melainkan Tara sangat sayang terhadap adik-adiknya, Tikri agak sedikit
kesusahan membawa tumpukan kayu bakar tersebut, beberapa kali gulungan kayu itu
terjatuh ketika Tikri hendak mengangkatnya dan menyimpannya di pundak tak
berdagingnya, mata Tara kini mengkerut masih dengan penantian nya terhadap adik tercintanya.
Tara, “Sinih aku bantu Tik!” seraya menurunkan buntelan kayu
bakar yang telah di pikulnya.
Masih dengan
nada sinis, tiki si anak berhati cukup keras menolak ajakan kakaknya, ia memang
cukup terkenal memiliki gengsi yang cukup tinggi, apa kagi menyangkut ke
jantanan nya.
Tiki, “Tidak usah lah, aku juga mampu.”
Hanya senyuman
manis dan sedikit rasa bangga, terpancar dari wajah Tara menyikapi tingkah sok
angkuh adiknya itu, Tara faham betul karakter adiknya, ia melanjutkan
pikulannya dan berjalan menuju pulang, ajaibnya, Tiki kini bisa melewati
langkah Tara dengan beban kayunya itu, beberapa kali Tiki mencoba melewati
Tara, walau sangat jelas langkahnya yang cukup gontai itu memaksa memperkokoh
kakinya, hembusan kecil angin mengiringi
pembuktian Tiki yang ingin sedikit di hargai ke dewasaannya oleh kakaknya itu,
suara kaki mereka yang beradu menjadi irama yang merdu pemicu Tiki untuk selalu
menjadi pemikul di garis terdepan, sehingga ia bisa menunjukan kepada kakak nya
bahwa ia mampu membawa beban itu. Kini
Tara berada di belakang Tiki, bagi anak yang masih menggebu jiwanya
seperti Tiki iitu adalah harga dirinya, Tiki menganggap ini adalah sebuah
lomba. Dengan sircuit jalanan tanah untuk para pemikul kayu, walau
keringat semakin lama semakin banyak di
sekujur tubuhnya, pantang bagi Tiki untuk beristirahat.
Melihat adiknya
yang begitu antusias membuktikan kemampuannya, Tara tidak begitu saja meladeni
ajakan balapnya, padahal dengan langkah tenang Tara ia masih bisa menyusul atau
minggalkan adiknya, namun Tara mencari inisiatip untuk memberikan hadiah
beristirahat kepada adiknnya itu, benak Tara berputar memikirkan bagaimana
caranya membuat Tiki berhenti sejenak untuk beristirahat karena Tara yakin,
bahwa adiknya itu pasti sangat ke lelahan di balik gengsinya itu, namun bukan
cara yang baik Ketikka Tara harus tiba-tiba menyuruh adiknya itu berhenti, karena
respon Tiki tidak mungkin baik dan Tiki pasti akan menganggap kakaknya
meremehkan kekuatannya, namun tara ingin sekali agar adiknya itu berhenti
sejenak.
Tara, “Tik, saya cape tunggulah sejenak, kita
beristirahat.” Inisiatif tara yang hebat tanpa, harus ketahuan bahwa
sebetulnyaia memberikan kesempatan pada adiknya untuk istirahat, walau Tara
masih sanggup melanjutkan perjalanan itu, Tikri tanpa basa-basi menyambut
ajakan yang I tunggu –tunggu, keringak dengan seribu butir di setia tetes yang
keluar dari dahi Tiki menunjukan bahwa sebenar nya ia sangat kelelahan, Tiki
langsug menjatuhkan kayu yang di bawanya tanpa sedikit rasa takut kalau
ikatannya itu akan lepas dan memisah gulungan kayu tersebut. Tara berhasil
menipu adik nya tanpa ketahuan ia memberi kesempatan adiknya menarik nafas
panjang. Perkampungan sudah sediit terlihat, hembusan nafas Tiki yang
ngos-ngosan dan matanya menatap jauh ke perkampungan sana, wajahnya merah
sekali, rasa cape kini memuncak, dan punggunya sedikit di sandarkan ke tanah, perlahan
ia terkapar di bawah terik matahari, Tara menyodorkan air dalam botol yang di
bawanya, air jernih isi ulang dari tempat mereka mandi, mereka biasa meminum
air itu tanpa menunggu di masak dulu.
Tika dan Tigi
si adik bungsu, menyambut kedatangan mereka berdua dengan gmbira.
Tigi, “Asik. Kakak pulang,” melonvat bahagia melihat
kakak-kakaknya membawa gulungan kayu yang sangat banyak.
Tika, “Sini kak turunin, aku bantu,”
keindahan,
semua naknya berkumpul memindahkan kayu-kayu hasil bawaan anak pertama
dan ketiganya, mereka terlihat sangat kompak walau dengan perbedaan karakter
yang di miliki mereka, bi Niah sangat senang dengan pemandangan nya itu.
Tika, “Tika sini nak, bawakan air untuk kakak dan adikmu itu!”
Dengan sigap
Tika langsung membawa seteko air ke pelataran rumah sederhana mereka, selesai
sudah kini kayu yang mereka bawa sudah berada di tempatnya. Dekat Hawu yang
terdiri dari dua bata yang di tumpuk. Perasaan haru bi Niah memerhatikan kedua
anak laki-lakinya itu membuat bi niah Tidak sabar ingin memberi tau, bahwa ada
kabar gembira, untuk mereka berdua. Sepulang bi Niah dari pengajian tadi, ada
sels penjual kompor yang di kredit, harganya 70,000 dan di cicil perbulan
10,000. Dengan hati yang sangat senang
bi niah menceritakan pada kedua anaknya itu.
Bi Niah, “Nak, mulai
besok kalian tidak usah mencari kayu lagi, ibu akan kredik kompor!”
Tara, “apa benar bu?”
Bi Niah
mengangguk kontan membuat cicilan keringat Tiki hilang dalam girangnya, memang
ada beberapa tetangganya juga yang sama mengambil kompor kreditan itu.
Tiki, “kapan kompor itu akan datang Bu?” tanya Tiki yang tidak
sabar ingin segera memeluk kompor kemerdekaannya.
“Mungkin sore ini Tik,”
Jawab bi Niah
yang duduk bersila di kelilingi ke empat anaknya.
Tara,”Bapak di mana bu?”
Tika,”bapak tidur kak! Selepas muntah-munta tadi.”
Tara,”Kenapa Tik,” terkejut Tara mendengar semua itu dan
bergegas msuk ke dalam rumah berniat melihat kondisi ayahnya.
Bi Niah,”Jangan ganggu ayahmu, baru sebentar ia tidur nak!”
timpal ibunya.
Tarapun mengurungkan
niat nya untuk msuk kedalam rumah, kini mereka berkumpul kembai di teras
rumahnya menanti kedatangan orang yang akan membawa kompor barunya, Tika yang
semula masih tidurn di paha ibunya kini beranjak bangun, memusatkan matanya
kepada dua laki-laki yang membawa kompor kesalah satu rumah tetangganya, lalu
kereka semua memusatkan matnya dengan harapan menunggu giliran kedatangan tamu
itu.
Tika, “mah mungkin itu!” tunjuk Tika kepada dua pemuda yang
mebawa kompor di halaman rumah tetangganya,
Mereka semua
memerhatikan percakapan antara kedua pemuda itu dan tetangganya yang baru saja
keluar dari rumahnya, terlihat kompor itu di serahkan kepada pemilik rumah
tersebut, dan setelah berjabatan tangan kedua pemuda tersebut berlalu. Mereka
berlima sedikit keheranan, dengan pulangnya tukang kredit kompor itu.
Tika, “Mengapa tidak kesini bu?” dengan cepat tika menanyakan
prihal kompor itu.
Bi Niah, “mungkin sedang mengambil kompornya lagi!”
Tiki dan tigi ankat bicara.
“Apa benar ibu telah memesannya?” sedikit keraguan terpancar
dari wajah mereka.
Bi Niah, ”Ia nak, tadi ibu ikut survey di musola katanya tuggu
saja di rumah.”
Mendengan penuturan
inbunya itu mereka berempat kembali tenang, dan melanjutkan penantian indahnya,
hening kini menyelimuti penantian mereka. Hingga terdengan suara pintu di buka
dari rumah tetangganya, seorang ibu-ibu setengah baya keluar dari pintu
tersebut, jaraknya mungkin lima meter dari halaman rumah mereka, dan kini menuju ke arah mereka, lalu Tika
bangun dari tidurannya dan menyambut kedatangan orang yang telah mendapat
kompor tersebut.
Ibu tua, “asallamualaikum.”
Sapanya indah
Dan semua
anggota keluarga bi Niah bangun menyambut kedatangan tetangganya itu dengan
senyuman, setelah mempersilahkan masuk ke halaman yang sebetulnya tidak di
pagar sama sekali itu mereka langsung mendapat kabar kepastian akan kompornya
itu.
Ibu tua, “Bi kompor
tidak jadi kirim ke sini.”
Ibu tua itu menjelaskan mengapa kompor impian bi niah tidak
kunjung datang, katanya sambil bercerita bahwa biniah tidak lulus survei,
karena kompor di kirim atau tidak itu berdasarkan pekerjaan suaminya, kini ayah
Tara hanyalah manusia yang sakit-sakitan , dan di ragukan untuk bisa menyicil
kompor tersebut, airmata penantian menghinggapi Tika si anak perempuan manis, tetapi
bi Niah masih kelihatan tegar dengan semua itu, ia hanya pamit dari anak
anaknya yang manis itu untuk melihat ayahnya di dalam, Tara mengerti ada
penyesalan yang sangat mendalam dari diri ibunya itu, dan baru kali ini Tara
melihat langkah lemah ibunya itu, dari matan ibunya itu tidak bisa di tutupi
keluarnya kesedihan dan kekecewaan yang enggan di ketahui anak-anaknya.
Sewaktu
ibunya bilang ingin masuk kedalam rumah, melihat ayahnya. Ada butiran airnata
yang menyebabkan lentik mata bi niah berkaca kaca, sulit di bayangklan memang. orang
pasti tidak akan begitu mempercayai keluarga mereka bahkan hanya untuk menyicil
satu buah kompor seharga sepuluh rubupun perbulan . tidak mampu membuat orang
lain percaya akan cicilan yang bisa di tempuh,.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar