Kini masalah 12345 membuntuti aku, mereka
sudah enggan mengendap lagi, mungkin sudah bosan dengan semua pelarian ku,
ketika ku rebahkan badan ini di kasur perpustakaan sekolah yang hampir hancur
dan berwarna aneh itu, seakan Nampak jelas semua beban itu memburuku.
Tatakan ada toleransi
lagi, masalah No satu hampir mendekati garis finishnya, garis finis di mana aku
adalah garis itu, garis yang terlentang di kasur menyerupai cat putih tandan
akhir dari sebuah pelarian.
Motor, itulah masalah yang hampir sampai pada
ujungnya, tetapi aku masih belum siap dengan kedatangannya. Kolektor yang
sedari pagi sudah menelponi aku dan akan datang ke tempatku sekitar jam lima
sore hari ini, ia akan segera membawa motor yang telah aku perjuangkan selam
tiga tahun, dan aku pergunakan untuk mencari uanga kuliah kini hampir lenyap. Setoran
akhir belum bisa aku selesaikan, “Nunggak tiga bulan.” mungkin itu kata sangat
akan memperjelas keluhan ku siang ini. Aku sedikit senyum untuk menghilangkan
kegundahan ini, dan belaga lupa dengan jarum jam, yang kini sudah menunjukan
pukul lima kurang lima menit.
Jurus “hadapi dengan ketenangan dan jalan
terlentang kembali untuk ku tantang”
Pelari pertama
menjelang hilang, serupa motorku yang hilang, tapi pelari kedua mesih semangat
dengan buruan garis finishnya, lewat getaran HP di kantong celana kiriku, suara
di jauh sana berbunyi lebih pedas daripada depkolektor dengan bahasa sangarnya.
“Rik,
sepertinya anda tidak akan bisa mengikuti wisuda tahun ini. Jika tunggakan kamu
belum terlunasi.”
Begitu bunyinya,
membuat mata ini melotot selama beberapa menit, bukan karena marah, tapi aku
mencoba menyadarkan diri dari tidu ini, namun sayang ternyata aku tidak
tertidur dan semuanya ini adalah nyata, kenyataan yang harus aku hadapi seindah
belayan cadas ini, bila badak di ujung kulon masih dengan persembunyiannya lain
lagi dengan kasusku sekarang ini, tak ada lagi tempat bersembunyi dari kepiluan
ini. Walau aku awalnya menganggap hatiku melebihi kerasnya kulit badak,
ternyata ini adalah batang lilin yang meleleh di goda api yang sangat manis,
dan kecil, aku semakin redup dan hanya sedikit lagi batang kekuatanku untuk
melayani api kecil yang memakan lilin diri ini. Tanpa sadar airmata dari sang
badak meleleh menuruni curam hutang pelari 345.
“hahhhh,
masih ada ternyata hutang yang lain.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar