Sabtu, 08 September 2012

Sang pelukis pilu


Kini masalah 12345 membuntuti aku, mereka sudah enggan mengendap lagi, mungkin sudah bosan dengan semua pelarian ku, ketika ku rebahkan badan ini di kasur perpustakaan sekolah yang hampir hancur dan berwarna aneh itu, seakan Nampak jelas semua beban itu memburuku.
Tatakan ada toleransi lagi, masalah No satu hampir mendekati garis finishnya, garis finis di mana aku adalah garis itu, garis yang terlentang di kasur menyerupai cat putih tandan akhir dari sebuah pelarian.
 Motor, itulah masalah yang hampir sampai pada ujungnya, tetapi aku masih belum siap dengan kedatangannya. Kolektor yang sedari pagi sudah menelponi aku dan akan datang ke tempatku sekitar jam lima sore hari ini, ia akan segera membawa motor yang telah aku perjuangkan selam tiga tahun, dan aku pergunakan untuk mencari uanga kuliah kini hampir lenyap. Setoran akhir belum bisa aku selesaikan, “Nunggak tiga bulan.” mungkin itu kata sangat akan memperjelas keluhan ku siang ini. Aku sedikit senyum untuk menghilangkan kegundahan ini, dan belaga lupa dengan jarum jam, yang kini sudah menunjukan pukul lima kurang lima menit.
Jurus “hadapi dengan ketenangan dan jalan terlentang kembali untuk ku tantang”


Pelari pertama menjelang hilang, serupa motorku yang hilang, tapi pelari kedua mesih semangat dengan buruan garis finishnya, lewat getaran HP di kantong celana kiriku, suara di jauh sana berbunyi lebih pedas daripada depkolektor dengan bahasa sangarnya.
“Rik, sepertinya anda tidak akan bisa mengikuti wisuda tahun ini. Jika tunggakan kamu belum terlunasi.”
Begitu bunyinya, membuat mata ini melotot selama beberapa menit, bukan karena marah, tapi aku mencoba menyadarkan diri dari tidu ini, namun sayang ternyata aku tidak tertidur dan semuanya ini adalah nyata, kenyataan yang harus aku hadapi seindah belayan cadas ini, bila badak di ujung kulon masih dengan persembunyiannya lain lagi dengan kasusku sekarang ini, tak ada lagi tempat bersembunyi dari kepiluan ini. Walau aku awalnya menganggap hatiku melebihi kerasnya kulit badak, ternyata ini adalah batang lilin yang meleleh di goda api yang sangat manis, dan kecil, aku semakin redup dan hanya sedikit lagi batang kekuatanku untuk melayani api kecil yang memakan lilin diri ini. Tanpa sadar airmata dari sang badak meleleh menuruni curam hutang pelari 345.
“hahhhh, masih ada ternyata hutang yang lain.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar