Sumedang, kota kabupaten hasil ‘reinkarnasi’ dari Kerajaan Sumedang
Larang yang tersohor sebagai penerus kejayaan Kerajaan Pajajaran pasca
keruntuhannya tahun 1579 M (Naskah Wangsakerta). Beberapa raja yang
terkenal dari Sumedang Larang ialah Prabu Tadjimalela dan Prabu Geusan
Ulun. Setelah Kesultanan Mataram dibawah pimpinan Sultan Agung
menginvasi wilayah Priangan pada abad 17, status Sumedang Larang
diturunkan derajatnya menjadi Kadipaten (Kabupaten),yang berada dibawah
kendali seorang adipati atau bupati.
Memasuki masa kolonialisme, kadipaten Sumedang berada dalam genggaman
kuasa kolonial Eropa. Seperti halnya wilayah lain di nusantara, rakyat
Sumedang pun telah menorehkan riwayat perlawanan yang gigih terhadap
penguasa kolonial. Salah satu kisah terkenal dari perlawanan rakyat
Sumedang adalah peristiwa Cadas Pangeran.
Perlawanan Simbolik
Cadas Pangeran merupakan jalan raya sepanjang tiga kilometer
penghubung Sumedang dengan wilayah Bandung yang dibangun oleh Gubernur
Jenderal Herman Willem Daendles (1808-1811) pada tahun 1809. Peristiwa
Cadas Pangeran ini dapat diartikan sebagai sebuah tindakan perlawanan
simbolik atau protes dari Bupati Sumedang ketika itu, Pangeran
Kusumadinata IX (1791 – 1828), terhadap ambisi Gubernur Jendral Herman
Willem Daendels yang berniat membangun jalan dari Anyer ke Panarukan.
Pangeran Kusumadinata IX atau yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Kornel marah melihat rakyatnya diperlakukan semena-mena oleh Daendels.
Seperti yang dikisahkan oleh para sesepuh Sumedang, peristiwa Cadas
Pangeran berawal dari pertemuan Pangeran Kusumadinata IX dengan Gubernur
Daendels ditengah-tengah proses pembangunan jalan raya teresbut.
Dikisahkan, Pangeran Kusumadinata IX melakukan jabat tangan dengan sang
Gubernur menggunakan tangan kiri. Sedangkan tangan kanan sang pangeran
siap menghunus keris pusaka. Konon tindakan tersebut membuat Daendels
terkejut.
Adegan heroik itu kini diabadikan secara visual pada sebuah patung di
pertengahan jalur Bandung-Sumedang. Peristiwa itu juga yang kini
dijadikan nama jalan tersebut, yakni jalan Cadas Pangeran. Jadi,
istilah Cadas Pangeran bagi sebagian kalangan merefleksikan watak keras
atau ‘cadas’ dari sang Pangeran Sumedang. Namun ada pula makna lainnya,
yakni daerah tersebut memang memiliki areal yang berbukit cadas. Bukit
cadas itulah yang diubah menjadi bagian dari jalur yang dibangun
Daendels tersebut. Pekerjaan merubah sebuah bukit cadas menjadi jalan
raya itulah yang mendatangkan penderitaan hebat bagi rakyat Sumedang,
yang direkrut menjadi pekerja paksa (rodi) dan memicu kemarahan Pangeran
Kusumadinata IX selaku penguasa Sumedang.
Selain memprotes secara simbolik, menurut cerita, Pangeran Kornel
juga menantang Daendels duel satu lawan satu. Pangeran Kornel berkata
bahwa dirinya selaku adipati Sumedang lebih baik berkorban sendiri
daripada harus mengorbankan rakyat Sumedang.
Mendengar hal tersebut, Daendels pun terpaksa merubah siasat. Daendels
berjanji pada sang Pangeran bahwa tentara Zeni Belanda akan mengambil
alih pekerjaan pembuatan jalan. Sedangkan rakyat Sumedang dipersiapkan
sebagai tenaga cadangan saja.
Namun, Daendels tengah bermuslihat. Beberapa hari kemudian, Gubernur
yang dijuluki ‘Mas Galak’ oleh rakyat Jawa itu membawa ribuan pasukan
Belanda dengan tujuan menumpas perlawanan Pangeran Kornel dan rakyat
Sumedang. Rakyat Sumedang dibawah pimpinan Pangeran Kornel beserta
segenap pembesar Sumedang lainnya melawan dengan gigih penindasan
Belanda tersebut. Karena kekuatan Belanda yang tangguh, akhirnya
pemberontakan Pangeran Kornel berhasil dipadamkan. Pangeran Kornel dan
ratusan rakyat Sumedang gugur dibantai pasukan Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar