Selasa, 07 Januari 2014

Kumpulan Puisi Erha Juna

Kumpulan Puisi Erha Juna         

   Penantian           
    Menangislah wahai kau sang pendusta, sepertiku yang tak henti melinangkan air mata tatkala jiwa ini tau akan kejamnya pedang nista. Menembus raga yang tergoyahkan dengki, melilit asa dan membenamkannya kedalam dataran penuh darah. Hingga bila malam yang pekat mengaburkan pandanganku, rasa ini masih menyimpan kepahitan dari sari-sari madu. Bukan madunya, tapi madu yang kau racik sedemikian rupa, hingga ia mampu bekerja lebih baik, menyusupi keraguan dalam jiwa. Dan kitapun tergerak mengikuti kedustaanmu. Kau seolah merabunkan kepedihan yang nyata, membujuk raga untuk melahirkan dunia-dunia dusta. Hey, walau kau sang pendusta, kini senantiasa mengajariku hidup, mendatangkan imaji yang indah.  Silahkan kau pergi lalu lambaikan tanganmu karna imaji telah meradang, melucuti ketakutan untuk segera memenggal dustamu.
   
    
Rindu 
  Rantai rindu terlilit benang ragu, memperbudak rasa tergoyah hampa. Enggan menguntai asa yang semu, walau surya datang namun perlahan tenggelam. Kabut semakin pekat membutakan pandangan, hati mencoba meraba. Keraguan semakin nyata. Ya Tuhan mengapa aku terdampar ditepi mimpi yang aku rancang sendiri, dan kini seolah tak ada jalan pulang bagi jiwa yang semakin jauh dengan tepiannya. saya mencoba memapah senyum agar sedikit bisa ku sibak tirai yang lusuh, namun pasir begitu mudah tertiup angin kali ini, membawa gelombang gundah menuju kesempurnaannya. Kini kebangkitan telah datang, memunculkan duri-duri tajam untuk mengiringi langkah pulang.  


 Bungaku.  
 Biarkan bunga itu mekar dengan inginnya  Jangan engkau coba halangi hakikatnya  mereka berhak menentukan kapan bangun?  kapan akan tertidur?   sehebat apapun engkau bukanlah hal yang baik jika mengganggu makhluk lain. Memang ia semakin hari semakin terlihat indah  dari mulai tangkainya, kelopak, bahkan perpaduan warnanya kadang membuat kau sedikit terdiam, lalu memerhatikannya. Namun hati-hati!  Sedikitpun jangan kau menyinggungnya.  walau kadang bunga akan bergoyang sendiri ketika kau tak perhatikan, kau acuhkan.  Bahkan enggan kau tinggalkan. Namun asal kau tau! Durinya tak segan menusuk ketika bahaya nafsumu mengancamnya,  dan itu akan membuatmu terluka. menyempurnakan kebahagiaan sebagai dirinya.    




                                                                                                 Sangkakala surosowan 1808.  
  Sang pendekar nan gagah tumbang tertusuk pedang, darahnya mengalir abadi,  selalu hadir bersama tetesan embun yang elok di pagi hari..  lalu menembus kemanusiaan sampai bertabur di tanah surosowan.  Tapi kekokohan Jiwa menjadi penentu ajalnya sendiri.  Senja datang denga menawan ketika siang mulai tergelincir.  Karena Sang pendekar menolak pemaksaan untuk kaumnya.  Sejarah yang terbentang dari anyer hingga panaruka, menjadi sangat panjang seperti tumpukan naskah kematian.  kini Sang pendekar mulai memaksa takdirnya.  Memaksa matanya berkedip kembali,  merangkak bangun walau perih.  Menghadang hujaman didadanya.  menjaga amanah Maulana Hasanuddin dan Pangran Fatahillah.  hingga tak terelakan lagi. Ada bercak dan tetesan dari dagingnya yang tercabik  darah menderas keluar, dari pori-porinya yang tersayat Londo Sialan.  November 1808 Istana takbisa dipertahankan. Surosowan dan kenangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar