Rabu, 29 Januari 2014
Puisi pertemuan air
Masih tentang hujaman butiran-butiran air hujan
Tanah tapi ikhlas.
Biar kadang hujamannya tak berhenti begitu saja
Tanah tapi ikhlas.
Senja hendak meninggalkan waktunya, pohon, buah, akar, krikil, batu, masih memerhatikan butitan datang satu demi satu bergantian dengan cepat, menembus tanah, membentur dirinya terkadang.
Mereka masih IKHLAS.
Bahkan bergantian saling mencari, rasa rindu sang butiran semakin menjadi, rasa rindu sang butiran semakin menjadi. Dari akar butiran itu menuju satu titik. Dari daun butiran itu lunglai menuju tempat yang sama.
Dari kerikil mereka menggeliat lalu menembus batas-batas lapisan gelisah.
Perjalanan mereka sangat cepat tertata, walau seperti tak memiliki pikiran, tapi ada yang memikitkan Sang Maha pikir. Maka berkumpullah ia. ERHA "Banjir 2014"
Kamis, 16 Januari 2014
Fikmin # Hop Dia
Jaji miboga dua leungeun nu sakitu galaledéna. Daria bisa neangkeun sorangan ka Kampung Kadu dahu, pasti kagét, langsung ngisingan manéh bating araringgisna. Teu ngantik ditambah ku lojor carita ti Aing. Kabéh géh pasti boga rarasaan nu akur ngeunaan leungeun Si Jaji mah. kecuali Bapa Kolot Jaji, nu miboga leuwih buadag batan Jaji. Dina leungeuna ngagambarkeun paéh jeung peurih kahirupan. Jalma anu neuleu tato ngajeblag mungkus tepika ramo-ramo na. Kitu anu kacaturkeun ku maranéhna anu kawénehan panggih jeung Jaji. Carita ngaleugaan, ceunah lamun jojong baé neuleu. Éta gambaran paéh, sangsarana kahirupan ngadeukeutan. Séak Aing gé nulis rerempodan. Badéng Aing pernah tomu. Ja ieu jadi Fikmin, "Waduh cilaka Rok". Bodo elos ja aya batur jeung anu maca.
Kamus mini
Neangkeun = manggihan
Bating = ungkapan geleuh/boa-boa
inggis= palalaur. jadi lamun "araringgis" pikasararieuneun"
Bapak kolot= Aki
Buadag= Badag pisan
Badeng= Meureun
Tomu=Panggih
Bodo elos= sabodo
Fikmin Sunda # Surat cimata
Ema teu kahaja molongoan daster almarhum inung dunungan. Lain kaayaan anu kudu dikekeyek, masalah mah aya baé diunggal juru jeung ringkak kahirupan papada manusa. Ema Unah contona. Pembantu dunungan Jaji. Kukumbah, ngoréd buruan, puguhna bébéres rompok mah, atuh Jaji supir. Tukang untar-anter. Keur dunungan areuweh Ema nginghak ciramai, cimata malur beungeut, ngalir dina sela-sela tanda kakolotan. Nyamhareup ka Jaji nu depong nungkulan inghak Ema, awak ngagibrib, biwir norowéco maido dunungan nu euceukna nyoék haté. Jaji teu walakaya ukur unggeuk jeung "Muhun" maturan rasa teu wasa kanu jadi balad salalakon.
Ka soré nakeun. Dunungan ménta dianteur kana Jaji, Rarayna ngadadak beureum ku rasa inggis. Gek douk. Dunungan tuluy nutup panto buri mobil bari muka omongan ka Jaji.
Inghak deui baé, ci mata teu katadah. Maca surat almarhum indungna, Ema darah aslina.

Rabu, 08 Januari 2014
Jawab?
Wajahnya muram menunduk lesu, memerhatikan setiap lngkah makhluk hitam kecil, anginpun datang tanpa permisi apa lagi mengetuk, terus membelai mesra seluruh tubuh kebekuannya dibawah pohon.
Pohon yang aneh. Tanpa nama, atau memang belum banyak manusia kenal akan namanya. Aneh memang. Begitu semua orang menyebut pohon itu. Sudah kita lupakan soal pohon itu, soalnya kita tak sedang membahas pohon yang aneh itu, walau memang sedikit ada rasa kepenasaranan mengenai pohon itu. Tak apalah. Kita tak begitu wajib juga membahasnya, toh IPK gak akan terpengaruhi karna ke hafalan kita tentang pohon itu.
Nah si tokoh yang kelelahan tadi memanggil saya kembali untuk segera menuliskan segera ceritanya lagi. Ia rasa Ia yang lebih bermanfaat ketimbang memikirkan hal yang belum pasti. Wajahnya mulai hijrah tampang, mulai ada senyuman manis di bibirnya, entah karna apa laki-laki berjanggut panjang itu lebih memfokuskan pandangannya pada suatu cahaya, cahaya yang sangat terang menerangi kegundahan hatinya yang ia pikir ia pun tak faham akan bentuk yang itu. Janggutnya yang panjang membawanya menjadi orang berpengaruh di sebuah perguruan tinggi, gaya bicaranya yang meyakinkan menjadi penghilang keraguan bagi setiap manusia yang berkomunikasi dengan Ia, sejarah memang singkat, akhirnya ia banyak mengecewakan banyak orang di sekitarnya termasuk saya. Jabatannya yang amat tinggi ternyata tak mampu mrnjawab pertanyaan yang sederhana dari Mahasiswanya, mengenai beberapa tindakannya yang di nilai merugikan perguruan. Pertanyaannya mudah. Mahasiswa tidak berharap kapan Itu akan di pindah untuk di isi hal yang lebih bermanfaat. Atau cara pengolahan Itu untuk lebih manfaat lagi. Hanya bertanya Nama!. " Apa nama pohon itu pak?? ". Sejuta persen diam itu dekan. ERHA.
Selasa, 07 Januari 2014
Kumpulan Puisi Erha Juna
Kumpulan Puisi Erha Juna
Penantian
Menangislah wahai kau sang pendusta, sepertiku yang tak henti melinangkan air mata tatkala jiwa ini tau akan kejamnya pedang nista. Menembus raga yang tergoyahkan dengki, melilit asa dan membenamkannya kedalam dataran penuh darah. Hingga bila malam yang pekat mengaburkan pandanganku, rasa ini masih menyimpan kepahitan dari sari-sari madu. Bukan madunya, tapi madu yang kau racik sedemikian rupa, hingga ia mampu bekerja lebih baik, menyusupi keraguan dalam jiwa. Dan kitapun tergerak mengikuti kedustaanmu. Kau seolah merabunkan kepedihan yang nyata, membujuk raga untuk melahirkan dunia-dunia dusta. Hey, walau kau sang pendusta, kini senantiasa mengajariku hidup, mendatangkan imaji yang indah. Silahkan kau pergi lalu lambaikan tanganmu karna imaji telah meradang, melucuti ketakutan untuk segera memenggal dustamu.
Rindu
Rantai rindu terlilit benang ragu, memperbudak rasa tergoyah hampa. Enggan menguntai asa yang semu, walau surya datang namun perlahan tenggelam. Kabut semakin pekat membutakan pandangan, hati mencoba meraba. Keraguan semakin nyata. Ya Tuhan mengapa aku terdampar ditepi mimpi yang aku rancang sendiri, dan kini seolah tak ada jalan pulang bagi jiwa yang semakin jauh dengan tepiannya. saya mencoba memapah senyum agar sedikit bisa ku sibak tirai yang lusuh, namun pasir begitu mudah tertiup angin kali ini, membawa gelombang gundah menuju kesempurnaannya. Kini kebangkitan telah datang, memunculkan duri-duri tajam untuk mengiringi langkah pulang.
Bungaku.
Biarkan bunga itu mekar dengan inginnya Jangan engkau coba halangi hakikatnya mereka berhak menentukan kapan bangun? kapan akan tertidur? sehebat apapun engkau bukanlah hal yang baik jika mengganggu makhluk lain. Memang ia semakin hari semakin terlihat indah dari mulai tangkainya, kelopak, bahkan perpaduan warnanya kadang membuat kau sedikit terdiam, lalu memerhatikannya. Namun hati-hati! Sedikitpun jangan kau menyinggungnya. walau kadang bunga akan bergoyang sendiri ketika kau tak perhatikan, kau acuhkan. Bahkan enggan kau tinggalkan. Namun asal kau tau! Durinya tak segan menusuk ketika bahaya nafsumu mengancamnya, dan itu akan membuatmu terluka. menyempurnakan kebahagiaan sebagai dirinya.
Sangkakala surosowan 1808.
Sang pendekar nan gagah tumbang tertusuk pedang, darahnya mengalir abadi, selalu hadir bersama tetesan embun yang elok di pagi hari.. lalu menembus kemanusiaan sampai bertabur di tanah surosowan. Tapi kekokohan Jiwa menjadi penentu ajalnya sendiri. Senja datang denga menawan ketika siang mulai tergelincir. Karena Sang pendekar menolak pemaksaan untuk kaumnya. Sejarah yang terbentang dari anyer hingga panaruka, menjadi sangat panjang seperti tumpukan naskah kematian. kini Sang pendekar mulai memaksa takdirnya. Memaksa matanya berkedip kembali, merangkak bangun walau perih. Menghadang hujaman didadanya. menjaga amanah Maulana Hasanuddin dan Pangran Fatahillah. hingga tak terelakan lagi. Ada bercak dan tetesan dari dagingnya yang tercabik darah menderas keluar, dari pori-porinya yang tersayat Londo Sialan. November 1808 Istana takbisa dipertahankan. Surosowan dan kenangan
Penantian
Menangislah wahai kau sang pendusta, sepertiku yang tak henti melinangkan air mata tatkala jiwa ini tau akan kejamnya pedang nista. Menembus raga yang tergoyahkan dengki, melilit asa dan membenamkannya kedalam dataran penuh darah. Hingga bila malam yang pekat mengaburkan pandanganku, rasa ini masih menyimpan kepahitan dari sari-sari madu. Bukan madunya, tapi madu yang kau racik sedemikian rupa, hingga ia mampu bekerja lebih baik, menyusupi keraguan dalam jiwa. Dan kitapun tergerak mengikuti kedustaanmu. Kau seolah merabunkan kepedihan yang nyata, membujuk raga untuk melahirkan dunia-dunia dusta. Hey, walau kau sang pendusta, kini senantiasa mengajariku hidup, mendatangkan imaji yang indah. Silahkan kau pergi lalu lambaikan tanganmu karna imaji telah meradang, melucuti ketakutan untuk segera memenggal dustamu.
Rindu
Rantai rindu terlilit benang ragu, memperbudak rasa tergoyah hampa. Enggan menguntai asa yang semu, walau surya datang namun perlahan tenggelam. Kabut semakin pekat membutakan pandangan, hati mencoba meraba. Keraguan semakin nyata. Ya Tuhan mengapa aku terdampar ditepi mimpi yang aku rancang sendiri, dan kini seolah tak ada jalan pulang bagi jiwa yang semakin jauh dengan tepiannya. saya mencoba memapah senyum agar sedikit bisa ku sibak tirai yang lusuh, namun pasir begitu mudah tertiup angin kali ini, membawa gelombang gundah menuju kesempurnaannya. Kini kebangkitan telah datang, memunculkan duri-duri tajam untuk mengiringi langkah pulang.
Bungaku.
Biarkan bunga itu mekar dengan inginnya Jangan engkau coba halangi hakikatnya mereka berhak menentukan kapan bangun? kapan akan tertidur? sehebat apapun engkau bukanlah hal yang baik jika mengganggu makhluk lain. Memang ia semakin hari semakin terlihat indah dari mulai tangkainya, kelopak, bahkan perpaduan warnanya kadang membuat kau sedikit terdiam, lalu memerhatikannya. Namun hati-hati! Sedikitpun jangan kau menyinggungnya. walau kadang bunga akan bergoyang sendiri ketika kau tak perhatikan, kau acuhkan. Bahkan enggan kau tinggalkan. Namun asal kau tau! Durinya tak segan menusuk ketika bahaya nafsumu mengancamnya, dan itu akan membuatmu terluka. menyempurnakan kebahagiaan sebagai dirinya.
Sangkakala surosowan 1808.
Sang pendekar nan gagah tumbang tertusuk pedang, darahnya mengalir abadi, selalu hadir bersama tetesan embun yang elok di pagi hari.. lalu menembus kemanusiaan sampai bertabur di tanah surosowan. Tapi kekokohan Jiwa menjadi penentu ajalnya sendiri. Senja datang denga menawan ketika siang mulai tergelincir. Karena Sang pendekar menolak pemaksaan untuk kaumnya. Sejarah yang terbentang dari anyer hingga panaruka, menjadi sangat panjang seperti tumpukan naskah kematian. kini Sang pendekar mulai memaksa takdirnya. Memaksa matanya berkedip kembali, merangkak bangun walau perih. Menghadang hujaman didadanya. menjaga amanah Maulana Hasanuddin dan Pangran Fatahillah. hingga tak terelakan lagi. Ada bercak dan tetesan dari dagingnya yang tercabik darah menderas keluar, dari pori-porinya yang tersayat Londo Sialan. November 1808 Istana takbisa dipertahankan. Surosowan dan kenangan
puisi Sang pendekar
Sangkakala surosowan 1808. ERHA
Sangpendekar nan gagah tumbang tertusuk pedang, darahnya mengalir abadi selalu hadir bersama tetesan embun pagi. lalu menembus kemanusiaan bertabur di tanah surosowan. Tapi kekokohan Jiwa menjadi penentu Ajalnya sendiri. Senja datang denga menawan ketika siang sore mulai tergelincir. Karena Sang pendekar menolak pemaksaan untuk kaumnya. Sejarah yang terbentang dari anyer hingga panaruka, menjadi sangat panjang seperti tumpukan naskah kematian. kini Sang pendekar mulai memaksa takdirnya. Memaksa matanya berkedip kembali, merangkak bangun walau perih. Menghadang hujaman di dadanya. menjaga amanah Maulana Hasanuddin dan Pangran Fatahillah.
hingga tak terelakan lagi dagingnya tercabik darah menderas keluar dari pori-porinya yang tersayat Londo Sialan. November 1808 Istana takbisa dipertahankan.
Kamis, 02 Januari 2014
Sajak Kalangkang Gunung
Sajak
Kalangkang Gunung
karya "ERHA JUNA
Salamsalam.
Punsapun kanu maha Agung.
Gunung Karang, Gunung
Salak, Gunung Gedé Gunung Honjé.
Gunung. Gunung Batur. Gunung urang!!
Sanghiyang sirah, Sanghiyang dengdek. Kini wajahmu pilu, karna hanya dijadikan lukisan dalam situs goa yang tua. Langkah bekas peradaban purbakala, gemulainya mengalir maju tak membekas lagi. hahahaha
kiwari geus wancina.
sekarang sudah waktunya!!
perubahan itu harus dicita-citakan, bak anak panah yang bergerigi berubah menjadi pedang Emas. Tapi, malah perburuan berklompok yang nyatanya belum usai, manusia kini memang pintar dalam bersalah. Hingga masa terbating peradaban busuk yang nyata, kelompok-kelompok intelektual hanya menjadi gelembung Syahwat. Kerakusan tumbuh dengan indah nan menawan. Kita lupa dengan masa yang kian bergulir, memutar membentuk pusaran ombak yang bergemuruh dipelataran krakatau, gunung simbol kemuakan.
Apa kita lupa akan masa itu?
atau senantiasa sengaja bersikap lugu?
ketika kemuakan makhluk tuhan memuncak, mengoyak raga sampai ujung pulau. Menerobos dinding alam, mencabik kulit hanya seketika menjadi keriput hangus. bongkahan-bongkahan kerikil amarah menusuk kulit.
hewan malang tengah bersujud terbawa laknat!!
siapakan yang hina?
masih bodohkah hati yang tak merasa?
KAU!!!
Kau nista. Hahahahaha
mengapa kau menyunggingkan bibir?
tak sadarkah gerangan dengan ulah cerdikmu menundukan prasasti sanghiyang dengdek. Walau dalam sknario Konon, tatapannya itu, tajam memaku pulosari. Energi dari sorot matanya sedikit meneduhkan tiang pancang bumi pertiwi bagian ujung, kabut yang amat tebal ketika senja tergelincirpun sedik meringankan kebencian lalu menambah ketenangan akannya,
Hingga malam tiba makhluk tuhan itu seakan hanya bayangan dalam gelapnya, sangat besar dan gelap.
Puisi Putri Bertasbih
Puisi. Putri Bertasbih.
Karya: ERHA.
Suara yang memutar mengelilingi telinga, memadati semua kekosongan jiwa. Ada hembusan angin yang tanpa kepekaanpun terdengar menyapaku, ada suara air yang terbentur bebatuan, beradu lunglai terjatuh diketinggian curug.
Lalu sorak suara hewan kecil beribu menjerit, saling bersahutan bertasbih.
Cahaya semesta samar melukis pepohonan yang menjulang. Ketika ku terka alam sambil menengadah ke atas.
Tanpa beban semuanya terjadi sesuai titahMu.
Embun membelai mesra seluruh miliku menuju kebekuan.
Membujuku tersadar tuk mengucap asmaMu.
beralun serentak bersama alamku. PersembahanMu.
Rabu, 01 Januari 2014
Puisi perlawanan
Ingin melawan perputaran waktu namun aku hendak diam. Biarkan saja masa bergulir dan raga terpanting keegoan zaman, belayan angin pada dada ini, terlalu halus dalam masanya. Hay pemberontak hari berkumpulah bersama Aku
Langganan:
Postingan (Atom)